Masakan Indonesia tak lagi tampil sekadarnya. Ragam kuliner negeri ini
terbukti bisa dieksplorasi dengan pendekatan modern dan klasik, mulai
dari aliran molekuler hingga ”slow food”.
Sekarang, bayangkan di hadapan Anda tersaji menu seperti ini: daging gulung yang membalut mousse telur asin. Daging ini disajikan di mangkuk, dilengkapi kuah berwarna bening kecoklatan, berhiaskan butiran-butiran mirip kaviar.
Masakan apa yang ada di pikiran Anda dengan membayangkan deskripsi tersebut? Sebagai bocoran, ini adalah masakan Indonesia.
Jawabannya adalah rawon. Itulah penerjemahan chef (juru masak) Andrian Ishak terhadap masakan asal Jawa Timur ini, yang disajikan dalam makan malam, Kamis (18/10/2012), salah satu mata acara Jakarta Culinary Festival 2012.
Dengan berkiblat pada ”aliran” molecular gastronomy (gastronomi molekuler) dan teknik memasak yang disebut molecular cooking, Andrian mengubah tampilan rawon yang biasanya hitam pekat, berisi potongan kecil daging, taoge, serta telur asin yang disajikan terpisah.
Rawon gastronomi molekuler ala Andrian ditampilkan berupa gulungan daging sukiyaki. Telur asinnya diolah menjadi mousse (semacam busa agak padat) yang dibekap dalam gulungan daging.
Sebagai pelengkap, taoge yang biasanya berbentuk kecambah diubah menjadi kaviar. Adapun keluak, bumbu penting yang menjadikan rawon berwarna hitam, dibuat sebagai taburan. Andrian seperti mereinkarnasi rawon. Jiwa rawon ditiupkannya dalam wujud raga yang berbeda sama sekali.
Sekarang, mari kita tengok acara makan malam bersama tim Maharasa Indonesia di tempat dan waktu yang berbeda. Eksplorasi kekayaan kuliner Indonesia tak kalah mengesankan. Apalagi, sepanjang menikmati menu demi menu yang disajikan dalam gaya fine dining itu, para tamu disuguhi cerita di balik setiap makanan, terutama tentang bahan makanan yang keseluruhannya asli Indonesia.
Sebagai pembuka, misalnya, tersaji teh rempah, yaitu teh organik dari lereng Gunung Salak yang diramu bersama buah-buahan tropis, kemukus (semacam lada hitam) dari Kalimantan, kayu manis (Gunung Kerinci), dan cengkeh (Ambon). Minuman ini dilengkapi ”kaviar” dari nanas yang tumbuh di bawah tegakan pohon di Gunung Halimun. Tak seperti teh yang biasanya terasa agak pahit, teh rempah ini terasa segar dengan dominasi aroma buah dan soda di dalamnya.
Sebagai menu penggugah selera, hadir dua stik berbahan ikan makarel berukuran mini, sekitar 10 cm x 1 cm x 1 cm. Stik ini disajikan indah dipadukan dengan sambal matah ditata memanjang, ditambah hiasan beberapa helai selada air.
Itulah cara dua juru masak, Adzan Tri Budiman dan Ragil Imam Wibowo, yang menjadi bagian dari tim Maharasa Indonesia, menerjemahkan sate lilit, salah satu masakan khas Bali.
Menikmati rangkaian menu khas Indonesia dalam dua acara tersebut terasa berbeda. Unik, meski sesekali otak harus menebak-nebak jenis masakan asli dari sensasi rasa di lidah.
Masakan yang diolah Andrian, misalnya, sesaat membuat penikmatnya menerka-nerka apa gerangan yang tersaji. Namun, juru masak lulusan Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung (dulu NHI) ini tetap berusaha meninggalkan jejak cita rasa aslinya.
Pendekatan sains
Gastronomi molekuler—ilmu yang mengeksplorasi pendekatan sains dalam dunia kuliner—sebenarnya bukanlah hal baru di arena internasional. Sperifikasi adalah salah satu teknik yang sering dipraktikkan. Ini merupakan proses membentuk cairan menjadi butiran serupa kaviar dengan menggunakan beberapa jenis bahan kimia yang aman dan sudah dikenal sejak 1950-an.
Namun, di Indonesia, juru masak yang memilih fokus pada teknik masak molekuler, apalagi untuk jenis masakan Indonesia, bisa dikatakan belum ada. Menurut Andrian, tantangan untuk mengolah masakan Indonesia dengan teknik molekuler cukup besar.
Masakan Indonesia pada umumnya memiliki rasa dan aroma intens yang harus dipertahankan ketika disajikan dalam bentuk baru. ”Karena itu, semua bahan dimasukkan. Hasilnya, rasa bagus tetapi penampilan kurang. Inilah yang jadi tantangan. Selain itu, apresiasi masakan Indonesia juga kurang, termasuk dari orang Indonesia sendiri,” ungkap Andrian.
Berdasarkan hal inilah, ia memilih fokus pada teknik memasak molekuler untuk masakan Indonesia. Dan, mempraktikkan hal tersebut, termasuk menyajikannya di restoran Namaaz Dining yang dibuka pada tahun ini, bukan hal yang mudah. Perlu waktu lima tahun untuk mempelajari dan menyiapkannya.
”Bukan untuk menaikkan level, melainkan memberi sudut pandang yang berbeda tentang masakan Indonesia,” katanya.
”Slow food”
Hal serupa dilakukan tim Maharasa Indonesia dalam acara makan malam yang digelar Minggu (14/10/2012). Selain teh rempah dan sate lilit, para tamu disuguhi pula soto ayam, berbagai jenis nasi dari beras asli Indonesia, sate klatak, serta makanan penutup berupa perpaduan ledre pisang, srikaya durian, bubur sumsum, sagu delima, dan labu kuning. Semuanya disuguhkan dalam penyajian modern dan cantik.
Makan malam itu digelar untuk menandai partisipasi Indonesia dalam festival slow food Salone del Gusto and Terra Madre di Turin, Italia, 25-29 Oktober. Pergelaran ini akan diikuti para pelaku kuliner, termasuk petani dan peternak, dari puluhan negara.
Slow food sendiri merupakan gerakan yang mengajak masyarakat dunia kembali kepada kearifan lokal di sektor pangan. Gerakan ini dimulai tahun 1986 oleh Carlo Petrini, pria asal Italia, sebagai perlawanan atas globalisasi masakan cepat saji. Dalam hal ini, ragam masakan Indonesia tentu sangat dekat dengan aliran slow food.
Sebagai delegasi Indonesia, Maharasa Indonesia juga akan mengikutsertakan pelaku kuliner, aktivis pangan, petani dari daerah (di antaranya petani garam berbentuk piramida dari Bali), dan sesepuh dari Kasepuhan Cipta Gelar di sekitar Gunung Halimun, Kabupaten Sukabumi. Kasepuhan ini, seperti dikatakan salah seorang anggota Maharasa Indonesia, Lisa Virgiano, melestarikan 66 varietas beras lokal.
Lisa bercerita, delegasi Indonesia akan membawa 22 produk unggulan ke Italia, di antaranya tujuh jenis beras lokal, tepung, garam, kacang-kacangan, gula, kopi, dan teh.
Dalam sebuah acara lokakarya nanti, salah satu beras dari Cipta Gelar akan dibuat nasi kabuli (sejenis nasi tumpeng). Untuk mendapat hasil sesuai aslinya, anggota delegasi yang bertugas memasak, yaitu Swan Kumarga, bahkan sempat ”berguru” terlebih dulu kepada masyarakat adat di Cipta Gelar untuk membuat masakan tersebut.
”Kita harus pamer, menunjukkan betapa kayanya kuliner Indonesia,” kata Lisa bersemangat.
Banyak bahan pangan asli Indonesia kian langka, misalnya berbagai varietas beras tadi. Berangkat dari kondisi ini, orang-orang yang peduli akan bahan pangan lokal bergabung membentuk Maharasa Indonesia. Festival slow food di Italia menjadi oase tersendiri bagi masakan Indonesia di panggung dunia.
”Acara malam ini harus menjadi forum yang memperkaya khazanah, tidak hanya lidah, tetapi menjadi pemicu kesadaran bahwa bangsa ini terlalu luar biasa untuk diabaikan,” ujar Adzan, menutup acara makan pada Minggu malam yang membuat semua tamu tersenyum puas.
Sekarang, bayangkan di hadapan Anda tersaji menu seperti ini: daging gulung yang membalut mousse telur asin. Daging ini disajikan di mangkuk, dilengkapi kuah berwarna bening kecoklatan, berhiaskan butiran-butiran mirip kaviar.
Masakan apa yang ada di pikiran Anda dengan membayangkan deskripsi tersebut? Sebagai bocoran, ini adalah masakan Indonesia.
Jawabannya adalah rawon. Itulah penerjemahan chef (juru masak) Andrian Ishak terhadap masakan asal Jawa Timur ini, yang disajikan dalam makan malam, Kamis (18/10/2012), salah satu mata acara Jakarta Culinary Festival 2012.
Dengan berkiblat pada ”aliran” molecular gastronomy (gastronomi molekuler) dan teknik memasak yang disebut molecular cooking, Andrian mengubah tampilan rawon yang biasanya hitam pekat, berisi potongan kecil daging, taoge, serta telur asin yang disajikan terpisah.
Rawon gastronomi molekuler ala Andrian ditampilkan berupa gulungan daging sukiyaki. Telur asinnya diolah menjadi mousse (semacam busa agak padat) yang dibekap dalam gulungan daging.
Sebagai pelengkap, taoge yang biasanya berbentuk kecambah diubah menjadi kaviar. Adapun keluak, bumbu penting yang menjadikan rawon berwarna hitam, dibuat sebagai taburan. Andrian seperti mereinkarnasi rawon. Jiwa rawon ditiupkannya dalam wujud raga yang berbeda sama sekali.
Sekarang, mari kita tengok acara makan malam bersama tim Maharasa Indonesia di tempat dan waktu yang berbeda. Eksplorasi kekayaan kuliner Indonesia tak kalah mengesankan. Apalagi, sepanjang menikmati menu demi menu yang disajikan dalam gaya fine dining itu, para tamu disuguhi cerita di balik setiap makanan, terutama tentang bahan makanan yang keseluruhannya asli Indonesia.
Sebagai pembuka, misalnya, tersaji teh rempah, yaitu teh organik dari lereng Gunung Salak yang diramu bersama buah-buahan tropis, kemukus (semacam lada hitam) dari Kalimantan, kayu manis (Gunung Kerinci), dan cengkeh (Ambon). Minuman ini dilengkapi ”kaviar” dari nanas yang tumbuh di bawah tegakan pohon di Gunung Halimun. Tak seperti teh yang biasanya terasa agak pahit, teh rempah ini terasa segar dengan dominasi aroma buah dan soda di dalamnya.
Sebagai menu penggugah selera, hadir dua stik berbahan ikan makarel berukuran mini, sekitar 10 cm x 1 cm x 1 cm. Stik ini disajikan indah dipadukan dengan sambal matah ditata memanjang, ditambah hiasan beberapa helai selada air.
Itulah cara dua juru masak, Adzan Tri Budiman dan Ragil Imam Wibowo, yang menjadi bagian dari tim Maharasa Indonesia, menerjemahkan sate lilit, salah satu masakan khas Bali.
Menikmati rangkaian menu khas Indonesia dalam dua acara tersebut terasa berbeda. Unik, meski sesekali otak harus menebak-nebak jenis masakan asli dari sensasi rasa di lidah.
Masakan yang diolah Andrian, misalnya, sesaat membuat penikmatnya menerka-nerka apa gerangan yang tersaji. Namun, juru masak lulusan Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung (dulu NHI) ini tetap berusaha meninggalkan jejak cita rasa aslinya.
Pendekatan sains
Gastronomi molekuler—ilmu yang mengeksplorasi pendekatan sains dalam dunia kuliner—sebenarnya bukanlah hal baru di arena internasional. Sperifikasi adalah salah satu teknik yang sering dipraktikkan. Ini merupakan proses membentuk cairan menjadi butiran serupa kaviar dengan menggunakan beberapa jenis bahan kimia yang aman dan sudah dikenal sejak 1950-an.
Namun, di Indonesia, juru masak yang memilih fokus pada teknik masak molekuler, apalagi untuk jenis masakan Indonesia, bisa dikatakan belum ada. Menurut Andrian, tantangan untuk mengolah masakan Indonesia dengan teknik molekuler cukup besar.
Masakan Indonesia pada umumnya memiliki rasa dan aroma intens yang harus dipertahankan ketika disajikan dalam bentuk baru. ”Karena itu, semua bahan dimasukkan. Hasilnya, rasa bagus tetapi penampilan kurang. Inilah yang jadi tantangan. Selain itu, apresiasi masakan Indonesia juga kurang, termasuk dari orang Indonesia sendiri,” ungkap Andrian.
Berdasarkan hal inilah, ia memilih fokus pada teknik memasak molekuler untuk masakan Indonesia. Dan, mempraktikkan hal tersebut, termasuk menyajikannya di restoran Namaaz Dining yang dibuka pada tahun ini, bukan hal yang mudah. Perlu waktu lima tahun untuk mempelajari dan menyiapkannya.
”Bukan untuk menaikkan level, melainkan memberi sudut pandang yang berbeda tentang masakan Indonesia,” katanya.
”Slow food”
Hal serupa dilakukan tim Maharasa Indonesia dalam acara makan malam yang digelar Minggu (14/10/2012). Selain teh rempah dan sate lilit, para tamu disuguhi pula soto ayam, berbagai jenis nasi dari beras asli Indonesia, sate klatak, serta makanan penutup berupa perpaduan ledre pisang, srikaya durian, bubur sumsum, sagu delima, dan labu kuning. Semuanya disuguhkan dalam penyajian modern dan cantik.
Makan malam itu digelar untuk menandai partisipasi Indonesia dalam festival slow food Salone del Gusto and Terra Madre di Turin, Italia, 25-29 Oktober. Pergelaran ini akan diikuti para pelaku kuliner, termasuk petani dan peternak, dari puluhan negara.
Slow food sendiri merupakan gerakan yang mengajak masyarakat dunia kembali kepada kearifan lokal di sektor pangan. Gerakan ini dimulai tahun 1986 oleh Carlo Petrini, pria asal Italia, sebagai perlawanan atas globalisasi masakan cepat saji. Dalam hal ini, ragam masakan Indonesia tentu sangat dekat dengan aliran slow food.
Sebagai delegasi Indonesia, Maharasa Indonesia juga akan mengikutsertakan pelaku kuliner, aktivis pangan, petani dari daerah (di antaranya petani garam berbentuk piramida dari Bali), dan sesepuh dari Kasepuhan Cipta Gelar di sekitar Gunung Halimun, Kabupaten Sukabumi. Kasepuhan ini, seperti dikatakan salah seorang anggota Maharasa Indonesia, Lisa Virgiano, melestarikan 66 varietas beras lokal.
Lisa bercerita, delegasi Indonesia akan membawa 22 produk unggulan ke Italia, di antaranya tujuh jenis beras lokal, tepung, garam, kacang-kacangan, gula, kopi, dan teh.
Dalam sebuah acara lokakarya nanti, salah satu beras dari Cipta Gelar akan dibuat nasi kabuli (sejenis nasi tumpeng). Untuk mendapat hasil sesuai aslinya, anggota delegasi yang bertugas memasak, yaitu Swan Kumarga, bahkan sempat ”berguru” terlebih dulu kepada masyarakat adat di Cipta Gelar untuk membuat masakan tersebut.
”Kita harus pamer, menunjukkan betapa kayanya kuliner Indonesia,” kata Lisa bersemangat.
Banyak bahan pangan asli Indonesia kian langka, misalnya berbagai varietas beras tadi. Berangkat dari kondisi ini, orang-orang yang peduli akan bahan pangan lokal bergabung membentuk Maharasa Indonesia. Festival slow food di Italia menjadi oase tersendiri bagi masakan Indonesia di panggung dunia.
”Acara malam ini harus menjadi forum yang memperkaya khazanah, tidak hanya lidah, tetapi menjadi pemicu kesadaran bahwa bangsa ini terlalu luar biasa untuk diabaikan,” ujar Adzan, menutup acara makan pada Minggu malam yang membuat semua tamu tersenyum puas.
0 comments:
Posting Komentar