SIDOARJO – Kendati anggaran pengerukan
sungai dikepras 50 persen, Dinas Pengairan Sidoarjo masih optimistis
bisa mengatasi banjir tahun ini. Salah satu cara yang akan mereka
lakukan adalah mendisiplinkan para penjaga dam.
Hal itu disampaikan Kepala Dinas
Pengairan Fatkhurrahman. Dia mengatakan, sebenarnya banjir di Sidoarjo
disebabkan sungai yang tidak mampu menampung air.
Mayoritas bukan air hujan, melainkan air
kiriman dari kota lain, seperti Mojokerto dan Pasuruan. Mantan camat
Tarik itu menerangkan, selama ini penjaga dam kurang disiplin. Dia
mencontohkan, saat hujan kemarin seharusnya pintu air ditutup.
”Namun, ada permintaan dari petani untuk
mengairi sawahnya sehingga dibuka,” ungkap dia. Setiap pukul 17.00,
jelas Fatkhurrahman, 40 penjaga dam harus datang ke dinas pengairan
untuk apel.
Pada saat upacara itu, penjaga wajib
melaporkan kondisi terakhir saluran air yang dijaga. Dia memaparkan,
petugas wajib ada di dam selama 24 jam. ”Kami tidak perbolehkan untuk
izin keluar. Kalau izin, harus ada gantinya,” tegas dia.
Berdasar data yang dihimpun, terdapat 42 dam di Sidoarjo. Namun, banyak yang tidak berfungsi.
Dam yang berfungsi ada di Ketegan, Bono, Bohar, Wilayut, Sarirogo, Pendopo, Singkil, Mojo, Sumput, dan Grogol.
Sementara itu, anggota Komisi C (Bidang
Pembangunan) DPRD Sidoarjo I Wayan Dendra pesimistis dengan langkah yang
dilakukan dinas pengairan. Sebab, cara yang paling ampuh untuk
membendung banjir adalah normalisasi kali.
Cara dinas pengairan tersebut dinilainya
akan sia-sia jika pengerukan tidak dilakukan. Jika air dari kota lain
sudah tidak bisa dibendung karena sungai mengalami pendangkalan dan
penyempitan, mau tidak mau air harus dialirkan ke bawah.
”Sama saja, pasti banjir,” ujarnya.
Legislator dari Partai Hanura itu menuturkan, pemkab harus mengembalikan
anggaran normalisasi kali yang disunat 50 persen. Pada 2013 ini dinas
pengairan mengajukan dana normalisasi Rp 9,6 miliar.
Jika dikepras, dananya tinggal Rp 4,8
miliar. Anggaran itu jauh lebih minim jika dibandingkan dengan 2012 yang
jumlahnya Rp 12 miliar. Langkah kedua, menurut Wayan, pemkab harus
kembali mengaktifkan dan membangun dam di Sidokare dan kawasan tengah
kota.
Hal itu mesti menjadi prioritas karena
selama ini titik banjir paling parah ada di Sidokare. Pembangunan dam,
menurut dia, tidak akan terlaksana karena anggarannya masuk dalam
nomenklatur barang dan jasa yang kini dikurangi tim anggaran.
”Jika tidak dibangun, Sidokare tiap
tahun pasti banjir,” tandas dia. Wayan menambahkan, pemkab sebenarnya
sudah melakukan studi banding penanganan banjir ke Belanda tahun lalu.
Namun, hasilnya masih jauh dari harapan.
”Baru Januari saja sudah banjir, padahal
belum puncak hujan,” cetusnya. Selain soal dam, kata Wayan,
perkembangan perumahan di Sidoarjo juga sangat pesat. Untuk itu, pemkab
mesti tegas menerapkan aturan bahwa setiap hunian harus mempunyai
boezem.
0 comments:
Posting Komentar