LIBUR Maulid Nabi 24 Januari
2013 kemarin, HM Zainul Lutfi
terlihat sibuk di sebuah lokasi produksi
di kawasan Tanggulangin.
Dia mengecek bahan dan hasil jahitan
beberapa pekerja. Sesekali
dia ngobrol dan berpesan agar pengerjaan
dilakukan sebaik-baiknya
biar konsumen tidak kecewa.
HM Zainul Lutfi, sehari-hari dikenal
sebagai anggota DPRD Sidoarjo.
Dia menjadi legislatif dari
Partai Amanat Nasional (PAN) Sidoarjo
dan kini duduk di Komisi C,
membidangi masalah pembangunan.
Namun di luar aktivitasnya di
parlemen, bapak tiga anak ini juga
memiliki kesibukan yakni menjadi
pengusaha kerajinan tas sepatu
dan koper dari kulit. “Dunia ini
sudah saya geluti sejak tahun 1996
atau selepas SMA. Awalnya memang
ini bisnis keluarga yang turun-
temurun dan saya merasa terpanggil
untuk terus melestarikannya,”
ungkapnya.
Agar tetap bisa berkembang diminati
konsumen, ia dituntut untuk
terus berkreasi. Salah satunya
melakukan pengembangan produk
dengan membuat kerajinan kulit
dari ikan pari. Padahal, biasanya
ikan pari yang biasa dikenal
dengan ikan pe, lebih nikmat jika
dikonsumsi dengan sambal.
“Kerajinan ikan pari ini mulai
saya kembangkan tahun 2000.
Alhamdulillah peminatnya cukup
banyak, 40 persen dalam negeri,
60 persen peminat justru dari luar
negeri, khususnya Asia Timur,
seperti Korea, Jepang, dan Hongkong,”
papar dia.
Menurut dia, warga Asia Timur
memang suka dengan produk tersebut.
Mereka tidak segan memborong
karena jarang ada pengrajin
yang memiliki produk tersebut.
“Karena produk ini masih terbilang
langka,” terusnya.
Pada awalnya, kulit ikan pari diperoleh
dalam keadaan polos. Tetapi
di tangan Lutfi, kulit ikan pari
dijadikan berbagai macam motif
kerajinan yang coraknya mengikuti
selera pasar. Ada motif kulit
macan dan warna-warna mencolok,
sehingga jika terkena sinar
juga bisa memantulkan cahaya.
Membuat kerajinan dari bahan
ikan ini tidak mudah. Eksperimen
saja butuh waktu sekitar enam bulan.
Biasanya, yang paling susah
dalam hal pemotongan dan membuat
line jahitan. “Salah potong ya
jelas hasilnya kurang bagus karena
kita harus menempatkan mutiara
atau kekhasan dari ikan pari
harus benar-benar tepat. Salah
membuat line jahitan, bisa
berakibat jarum jahit patah
karena permukaan kulit ikan pari
sangat keras,” jelas Lutfi.
Karena tingkat kesulitannya
terlalu tinggi, maka produksinya pun
untuk sementara ini terbatas. Satu
bulan paling banyak 100 biji dan
untuk tas sekitar 30-40 biji. ”Selain
itu jumlah tenaganya juga terbatas.
Bahan bakunya juga tidak terlalu
banyak mengingat proses awalnya
memang rumit,” tambah dia.
Mengingat prospeknya yang
bagus, Lutfi berencana mengembangkan
kerajinan ikan pari tersebut.
Ia berharap usahanya ini
akan menjadi ikon baru bagi kerajinan
di Tanggulangin. Sebab
untuk kerajinan kulit dari domba
dan sapi sudah banyak yang bisa
mengerjakannya. “Tetapi kalau
untuk ikan pari butuh keterampilan
khusus,” katanya.
2013 kemarin, HM Zainul Lutfi
terlihat sibuk di sebuah lokasi produksi
di kawasan Tanggulangin.
Dia mengecek bahan dan hasil jahitan
beberapa pekerja. Sesekali
dia ngobrol dan berpesan agar pengerjaan
dilakukan sebaik-baiknya
biar konsumen tidak kecewa.
HM Zainul Lutfi, sehari-hari dikenal
sebagai anggota DPRD Sidoarjo.
Dia menjadi legislatif dari
Partai Amanat Nasional (PAN) Sidoarjo
dan kini duduk di Komisi C,
membidangi masalah pembangunan.
Namun di luar aktivitasnya di
parlemen, bapak tiga anak ini juga
memiliki kesibukan yakni menjadi
pengusaha kerajinan tas sepatu
dan koper dari kulit. “Dunia ini
sudah saya geluti sejak tahun 1996
atau selepas SMA. Awalnya memang
ini bisnis keluarga yang turun-
temurun dan saya merasa terpanggil
untuk terus melestarikannya,”
ungkapnya.
Agar tetap bisa berkembang diminati
konsumen, ia dituntut untuk
terus berkreasi. Salah satunya
melakukan pengembangan produk
dengan membuat kerajinan kulit
dari ikan pari. Padahal, biasanya
ikan pari yang biasa dikenal
dengan ikan pe, lebih nikmat jika
dikonsumsi dengan sambal.
“Kerajinan ikan pari ini mulai
saya kembangkan tahun 2000.
Alhamdulillah peminatnya cukup
banyak, 40 persen dalam negeri,
60 persen peminat justru dari luar
negeri, khususnya Asia Timur,
seperti Korea, Jepang, dan Hongkong,”
papar dia.
Menurut dia, warga Asia Timur
memang suka dengan produk tersebut.
Mereka tidak segan memborong
karena jarang ada pengrajin
yang memiliki produk tersebut.
“Karena produk ini masih terbilang
langka,” terusnya.
Pada awalnya, kulit ikan pari diperoleh
dalam keadaan polos. Tetapi
di tangan Lutfi, kulit ikan pari
dijadikan berbagai macam motif
kerajinan yang coraknya mengikuti
selera pasar. Ada motif kulit
macan dan warna-warna mencolok,
sehingga jika terkena sinar
juga bisa memantulkan cahaya.
Membuat kerajinan dari bahan
ikan ini tidak mudah. Eksperimen
saja butuh waktu sekitar enam bulan.
Biasanya, yang paling susah
dalam hal pemotongan dan membuat
line jahitan. “Salah potong ya
jelas hasilnya kurang bagus karena
kita harus menempatkan mutiara
atau kekhasan dari ikan pari
harus benar-benar tepat. Salah
membuat line jahitan, bisa
berakibat jarum jahit patah
karena permukaan kulit ikan pari
sangat keras,” jelas Lutfi.
Karena tingkat kesulitannya
terlalu tinggi, maka produksinya pun
untuk sementara ini terbatas. Satu
bulan paling banyak 100 biji dan
untuk tas sekitar 30-40 biji. ”Selain
itu jumlah tenaganya juga terbatas.
Bahan bakunya juga tidak terlalu
banyak mengingat proses awalnya
memang rumit,” tambah dia.
Mengingat prospeknya yang
bagus, Lutfi berencana mengembangkan
kerajinan ikan pari tersebut.
Ia berharap usahanya ini
akan menjadi ikon baru bagi kerajinan
di Tanggulangin. Sebab
untuk kerajinan kulit dari domba
dan sapi sudah banyak yang bisa
mengerjakannya. “Tetapi kalau
untuk ikan pari butuh keterampilan
khusus,” katanya.
0 comments:
Posting Komentar