Awalnya iseng. Jansen Jasien hobi
garuk-garuk tanah di sekitar rumahnya
di Desa Tambak Kemeraan,
Krian. Lama-lama, dia tertarik mengumpulkan
batuan yang ditemukan.
Penemuan terbarunya bukan batu
sembarang batu. Itu candi!
JANSEN senang mempelajari temuan
batu bata yang ia koleksi sejak
dua tahun lalu. Batu-batu itu ia
kumpulkan satu per satu dari berbagai
sudut desa. Mulai tempat tinggalnya
di Desa Tambak Kemeraan
RT 14 RW IV, hingga Desa Terung
Wetan yang berjarak enam kilometer
dari sana.
Setelah diteliti, batu bata itu
ternyata tersebar merata mengelilingi
kawasan Terung Wetan sejauh
empat kilometer. Jansen memperkirakan,
usianya sudah ratusan tahun.
Dia juga meyakini, bendabenda
itu merupakan peninggalan
zaman Kerajaan Majapahit, 1.400 M
silam.
Keyakinan tersebut diperkuat
dengan keberadaan makam Raden
Ayu Putri di sana. Raden Ayu adalah
anak Adipati Terung, Raden Husein
dari Kerajaan Majapahit. Untuk mengungkap
misteri bebatuan temuannya,
Jansen rela melakukan apa
saja. Dia tidak asal gali tanah lagi.
Pelukis cagar budaya ini harus
melakukan penerawangan dulu,
sebelum mulai menggali. Dia bahkan
pernah menyamar sebagai pemulung
dan mondar-mandir di
semak belukar sebelah selatan
makam Raden Ayu, siang
dan malam.
Hasilnya, Jansen
menemukan, 15 meter
dari sisi selatan
makam Raden Ayu
merupakan situs
bersejarah. Di sana
terdapat dua sumur,
yang dinamai
Sumur Manggis dan
Sumur Gentong. Di
kedalaman dua meter
Sumur Gentong, ditemukan
sebuah gentong. Sedangkan
dari dalam Sumur Manggis, ditemukan
batu bulat berbentuk
manggis sumping delapan. “Itu merupakan
ciri bagian sebuah kerajaan
besar,” terang Jansen.
Dari penelitian panjang yang ia
lakukan sendiri selama dua tahun,
Jansen akhirnya menemukan titik,
yang dia anggap sebagai
pusat Candi Terung. Dia
mendapatkan lokasinya
melalui hasil penerawangan.
Sebelumnya, dia
juga minta izin pada
Sahuri (55) alias Mbah
Huri, si pemilik tanah,
untuk melakukan
penggalian bersejarah
di sana.
“Niat saya baik, hanya
ingin melestarikan benda
sejarah yang ada di Desa Terung,”
kata bapak dua anak ini.
Niat baik Jansen pun disambut
baik oleh Sahuri. Ia mendukung
usaha Jansen mengobrak-abrik
pekarangan belakang rumahnya,
yang diklaim sebagai pusat candi.
“Aku oleh wangsit yen enek peninggalan
sejarah neng kene. Makane aku
seneng,” ucap suami Sun Alisa ini.
Maka, sejak Januari lalu, Jansen
dibantu rekannya Hasan dan Mbah
Huri pun aktif melakukan penggalian.
Mereka hanya gunakan peralatan
sederhana yaitu cangkul dan
cetok. Hasilnya semakin lama semakin
menakjubkan. Mereka-mereka
yang dulu ragu dengan kebenaran
ucapan Jansen tentang Candi Terung,
kini berubah percaya.
Yang dikerjakan Jansen bersama
tim kecilnya bukan hal gampang.
Mereka babat alas menebangi pohon-
pohon di hutan lebat belakang
rumah Mbah Huri, sebelum menggali.
Hasil penggalian pun baru terlihat
setelah mencapai kedalaman
30 sentimeter. Warna tanah berubah
kekuningan. Di kedalaman empat
meter, setelah sumber air muncul,
tampaklah batu bata yang diduga
merupakan peninggalan Kadipaten
Terung.
“Baru setelah air disedot, batu
bata kemerahan terlihat berjejer
rapi,” jelasnya.
Susunan bebatuan tersebut kini
sudah sangat jelas terlihat. Tingginya
mencapai satu meter, lebarnya
mencapai 2,33 meter, panjangnya
10,85 meter. Kalau diamati, bentuknya
seperti huruf L. Batu bata di
sisi timur memanjang ke arah selatan.
“Persis seperti candi-candi di Jawa,
yang menghadap ke arah selatan, ke
Mahameru (puncak Gunung Semeru,
Red),” aku Jansen.
garuk-garuk tanah di sekitar rumahnya
di Desa Tambak Kemeraan,
Krian. Lama-lama, dia tertarik mengumpulkan
batuan yang ditemukan.
Penemuan terbarunya bukan batu
sembarang batu. Itu candi!
JANSEN senang mempelajari temuan
batu bata yang ia koleksi sejak
dua tahun lalu. Batu-batu itu ia
kumpulkan satu per satu dari berbagai
sudut desa. Mulai tempat tinggalnya
di Desa Tambak Kemeraan
RT 14 RW IV, hingga Desa Terung
Wetan yang berjarak enam kilometer
dari sana.
Setelah diteliti, batu bata itu
ternyata tersebar merata mengelilingi
kawasan Terung Wetan sejauh
empat kilometer. Jansen memperkirakan,
usianya sudah ratusan tahun.
Dia juga meyakini, bendabenda
itu merupakan peninggalan
zaman Kerajaan Majapahit, 1.400 M
silam.
Keyakinan tersebut diperkuat
dengan keberadaan makam Raden
Ayu Putri di sana. Raden Ayu adalah
anak Adipati Terung, Raden Husein
dari Kerajaan Majapahit. Untuk mengungkap
misteri bebatuan temuannya,
Jansen rela melakukan apa
saja. Dia tidak asal gali tanah lagi.
Pelukis cagar budaya ini harus
melakukan penerawangan dulu,
sebelum mulai menggali. Dia bahkan
pernah menyamar sebagai pemulung
dan mondar-mandir di
semak belukar sebelah selatan
makam Raden Ayu, siang
dan malam.
Hasilnya, Jansen
menemukan, 15 meter
dari sisi selatan
makam Raden Ayu
merupakan situs
bersejarah. Di sana
terdapat dua sumur,
yang dinamai
Sumur Manggis dan
Sumur Gentong. Di
kedalaman dua meter
Sumur Gentong, ditemukan
sebuah gentong. Sedangkan
dari dalam Sumur Manggis, ditemukan
batu bulat berbentuk
manggis sumping delapan. “Itu merupakan
ciri bagian sebuah kerajaan
besar,” terang Jansen.
Dari penelitian panjang yang ia
lakukan sendiri selama dua tahun,
Jansen akhirnya menemukan titik,
yang dia anggap sebagai
pusat Candi Terung. Dia
mendapatkan lokasinya
melalui hasil penerawangan.
Sebelumnya, dia
juga minta izin pada
Sahuri (55) alias Mbah
Huri, si pemilik tanah,
untuk melakukan
penggalian bersejarah
di sana.
“Niat saya baik, hanya
ingin melestarikan benda
sejarah yang ada di Desa Terung,”
kata bapak dua anak ini.
Niat baik Jansen pun disambut
baik oleh Sahuri. Ia mendukung
usaha Jansen mengobrak-abrik
pekarangan belakang rumahnya,
yang diklaim sebagai pusat candi.
“Aku oleh wangsit yen enek peninggalan
sejarah neng kene. Makane aku
seneng,” ucap suami Sun Alisa ini.
Maka, sejak Januari lalu, Jansen
dibantu rekannya Hasan dan Mbah
Huri pun aktif melakukan penggalian.
Mereka hanya gunakan peralatan
sederhana yaitu cangkul dan
cetok. Hasilnya semakin lama semakin
menakjubkan. Mereka-mereka
yang dulu ragu dengan kebenaran
ucapan Jansen tentang Candi Terung,
kini berubah percaya.
Yang dikerjakan Jansen bersama
tim kecilnya bukan hal gampang.
Mereka babat alas menebangi pohon-
pohon di hutan lebat belakang
rumah Mbah Huri, sebelum menggali.
Hasil penggalian pun baru terlihat
setelah mencapai kedalaman
30 sentimeter. Warna tanah berubah
kekuningan. Di kedalaman empat
meter, setelah sumber air muncul,
tampaklah batu bata yang diduga
merupakan peninggalan Kadipaten
Terung.
“Baru setelah air disedot, batu
bata kemerahan terlihat berjejer
rapi,” jelasnya.
Susunan bebatuan tersebut kini
sudah sangat jelas terlihat. Tingginya
mencapai satu meter, lebarnya
mencapai 2,33 meter, panjangnya
10,85 meter. Kalau diamati, bentuknya
seperti huruf L. Batu bata di
sisi timur memanjang ke arah selatan.
“Persis seperti candi-candi di Jawa,
yang menghadap ke arah selatan, ke
Mahameru (puncak Gunung Semeru,
Red),” aku Jansen.
0 comments:
Posting Komentar