Baru Selasa (17/7) anggota DPR menyoroti kebijakan pembatasan jumlah surat keterangan tidak mampu (SKTM) di Sidoarjo.
Eh, kemarin(18/7) puluhan pasien
pemegang SKTM cuci darah (hemodialisis) harus balik kucing. Mereka yang
sudah biasa memakai fasilitas SKTM tidak bisa dilayani di RSUD. Karena
ditolak, sejumlah pasien cuci darah tersebut mendatangi Komisi D DPRD
Sidoarjo.
Mereka datang dengan kondisi cukup
memprihatinkan. Ada yang terlihat sudah pucat, badannya menghitam,
hingga perut yang sudah menggelembung. Bahkan, di an tara mereka ada
yang membawa serta kursi roda dan tabung gas lengkap dengan infus.
Salah seorang di antara mereka adalah
Maal Akiyat, 50. Warga asal Kebon Agung, Sukodono, tersebut dengan
tertatih ikut nglurug ke gedung wakil rakyat. Kata dia, sejak 1 Juli
RSUD tidak lagi menerima SKTM miliknya. Padahal, sudah ada tanda tangan
lurah dan camat.
Maal pun harus mencari dana untuk
kebutuhan biaya cuci darah. Jika tidak, tentu nyawanya terancam.
Biasanya, dirinya harus melakukan cuci darah dua kali seminggu. Karena
harus membayar, dia terpaksa menjadwal seminggu sekali.
Terhitung 1 Juli hingga 17 Juli, dia
hanya bisa melakukan dua kali hemodialisis. Di RSUD Sidoarjo, sekali
cuci darah bisanya menghabiskan anggaran sekitar Rp 790 ribu. Namun,
karena hanya seminggu sekali, akhirnya harus menambah biaya untuk
kepentingan membantu mengeluarkan kotoran di tubuhnya.
”Biayanya sekitar Rp 200 ribu. Kami ini
benarbenar pasien tidak mampu,” ucapnya. Maal menderita gagal ginjal
selama lima tahun ini. Selama 2,5 tahun dirinya pun telah melakukan cuci
darah dengan biaya dari kantong pribadi di RS Husada Utama.
”Selama itu, saya sudah menghabiskan
biaya sekitar Rp 360 juta,” terangnya. Hingga akhirnya, dia tidak mampu
lagi dan terpaksa mengandalkan SKTM. Kebijakan pembatasan tersebut jelas
memukul orang yang bernasib seperti dirinya.
”Saya cari uang ke mana lagi agar bisa
cuci darah? Segala bentuk pengobatan sudah saya lalui. Mulai alternatif
dengan obat sampai segala macam. Satu-satunya jalan hanya cuci darah,”
ungkap dia.
Koordinator Aksi Imam Fatoni menyatakan,
hingga siang kemarin sudah ada delapan pasien miskin yang terpaksa
pulang dari rumah sakit. Jumlah tersebut diprediksi akan bertambah
seiring dengan pembatasan SKTM terhadap pasien cuci darah.
Saat ini setidaknya ada 190 pasien
miskin yang menggantungkan hidup dari cuci darah. Ketua Komisi D Mahmud
menyatakan, per 1 Juli memang ada kebijakan dari pemkab membatasi jumlah
SKTM.
Pemkab menetapkan hanya pasien yang
masuk dalam database pemerintah yang bisa menggunakan SKTM. Di luar itu
tidak bisa lagi. ”Akhirnya, mulai tingkat lurah, camat, dan RSUD harus
terikat dengan kebijakan tersebut,” katanya.
Dia berharap dinas terkait bisa terus
melakukan update berkala. SKTM dapat tetap diberikan selama yang
bersangkutan memang benar-benar miskin. Hari ini rencananya komisi D
mengundang Sekkab, kepala bappekab, dan direktur RSUD.
Anggota Komisi D Didik Budi Santosa
menambahkan, selama ini masih belum ada keterbukaan dari instansi
terkait dalam menetapkan database. ”Logikanya, kalau pasien itu dilayani
sebelumnya, seharusnya kan masuk dalam database baru.
Ternyata tidak ada. Kalau seperti itu,
dasar penentuan database apa?” tanyanya. Didik menjelaskan, selama ini
bapekkab hanya memberikan data dengan angka. Dasarnya dari mana, DPRD
tidak pernah mendapat keterangan. ”Ini masalah nyawa orang,” kata dia.
0 comments:
Posting Komentar