Informasi Sidoarjo on http://www.infosda.com

Rabu, 31 Oktober 2012

Potensi Pantai (Kepetingan) Ketingan Sidoarjo, (Sejarah Dan Perkembangannya)

Sejarah Pantai Ketingan Sidoarjo:

Kepetingan adalah sebuah pantai di Sidoarjo yang memiliki legenda tersendiri

Cerita bermula dari Tanah Blambangan, Banyuwangi, pada masa Prabu MINAK SEMBUYU. Dewi Sekardadu, putri Minak Sembuyu yang cantik jelita, di
serang penyakit sangat berat. Segala macam upaya sudah dicoba, tabib-tabib terkenal sudah bekerja, tapi sia-sia. Pada tahun 1362 (versi Pak Durohim), kebetulan Syech MAULANA ISKAK (asal Yaman) tengah menyebarkan Islam di Pulau Jawa.

Waktu itu, ujung rezim Majapahit, penduduk tanah Jawa memang belum banyak memeluk Islam. Kebetulan Maulana berada di Blambangan. Raja yang putus asa akhirnya bikin sayembara. Siapa yang bisa menyebuhkan Dewi Sekardadu akan dijadikan mantu kalau masih muda. Kalau sudah tua, jadi kerabat kerajaan. Maulana, sang ustad, ikut sayembara, dan akhirnya sukses menyembuhkan Dewi Sekardadu.

Syech dari Timur Tengah itu pun menikah dengan DEWI SEKARDADU BINTI MINAK SEMBUYU. “Tapi Raja nggak suka Maulana karena nggak mau jadi Islam. Itu membuat permusuhan di antara mereka. Tegang terus,” tutur Pak Durohman.

Diserang terus oleh Minak Sembuyu membuat Maulana pamit mundur kepada istrinya. Saat itu Dewi sudah hamil tujuh bulan. Kalau lahir laki-laki, pesan Maulana, namakan dia RADEN PAKU. Syech Maulana kemudian meninggalkan Blambangan, pergi berdakwah di tempat lain. “Tahun 1365 Sunan Giri alias Raden Paku lahir,” kata Durohim.

Raja Blambangan murka. Ia khawatir Raden Paku bakal merusak wibawanya. Karena itu, ia memutuskan untuk membuang cucunya ini ke laut. Para prajurit memasukkan si bayi ke dalam peti dan mengapungkannya. Mengetahui anak tercintanya dibuang ke laut, Dewi Sekardadu menceburkan diri ke laut mengejar-ngejar anaknya. Sia-sia. Gelombang terlalu besar, dan apalah kemampuan berenang manusia.

Singkat cerita, kata Durohman, jasad Dewi Sekardadu dan peti pembawa Raden Paku harus berpisah. Dewi Sekardadu dibawa ke arah Sidoarjo, sementara peti berisi bayi Raden Paku nyasar ke Gresik.

Kebetulan, pada 1365 itu, ada nelayan Balongdowo [Sidoarjo] tengah mencari kerang di perairan Selat Madura. Kaget sekali mereka melihat jasad perempuan cantik yang digotong ramai-ramai oleh ikan keting.Jasad itu terdampar di pantai, dan dikebumikan secara terhormat oleh warga. Tempat itu akhirnya dinamakan KETINGAN alias KEPETINGAN.


Sekilas Pantai Ketinga :

Ketingan (juga sering disebut Kepetingan) sudah lama menjadi objek wisata pantai di Kabupaten Sidoarjo. Ketingan masuk Desa Sawohan, Kecamatan Buduran. Kita bisa menembus Ketingan dari Bluru Kidul (Sidoarjo), Balongdowo (Candi), Karanggayam (Sidoarjo), Gisik Cemandi (Sedati), atau Kalanganyar (Sedati).

Di Ketingan semua sungai yang berada di Sidoarjo bermuara. Karena tak punya kampung tetangga--dikeliling tambak, mangrove, serta hutan pantai, Ketingan praktis terpelosok. Jalan darat ada, tapi sangat sulit. Di musim hujan jangan coba-coba naik sepeda motor ke Ketingan karena medannya lebih parah ketimbang medan reli Paris-Dakkar, begitu guyonan umum di Sidoarjo.

Namun, Win Hendrarso, bupati Sidoarjo, pernah menjajaki medan berat ini dengan sepeda motornya. "Cak Win itu luar biasa. Orangnya nekat, berani, dan akhirnya sampai ke Ketingan naik motor," kata HARRYADJIE BS. Pelukis serta aktivis Dewan Lingkungan Sidoarjo ini menjadi pemandu saya dan beberapa kawan saat berwisata di Ketingan.

Sejak keluar dari Bluru Kidul, saya sudah menjumpai pemandangan tak sedap. Air sungai sangat kotor. Sampah plastik. Erwin, sopir perahu, terpaksa berkali-kali membersihkan baling-baling yang tersangkut sampah plastik. Rata-rata setiap tujuh menit baling-baling nyangkut. Meski begitu, Erwin tetap sabar dan berusaha tersenyum.

"Memang beginilah lalulintas ke Ketingan, mau apa lagi? Yang penting kan sampai, bisa mancing hehehe...," ujarnya.

Apa boleh buat, perjalanan (pakai mesin diesel) yang seharusnya tak sampai satu jam, petang itu, sangat molor. Padahal, perahu-perahu nelayan sangat sepi sehingga tak ada yang namanya kemacetan lalu lintas. Nah, gara-gara sampah keparat itu, obrolan yang tadinya tentang makam Dewi Sekardadu, ibunda Sunan Giri (salah satu wali), akhirnya beralih ke sampah.

"Dulu nggak kayak begini. Jarang nyangkut sampah plastik. Tapi gara-gara industri dan kesadaran warga kurang, hasilnya seperti ini," tutur Harryadjie BS.

Saya manggut-manggut mendengar cerita sedih dari sang pelukis. Acara bersih-bersih sampah, kata Harryadjie, bukannya tak pernah dilakukan. Aktivis LSM, dinas pengairan, lingkungan hidup, kerap melakukan pembersihan. Dan hasilnya dahsyat.

"Saya paling sering menemukan karung berisi sampah, kasur, dan barang-barang rumah tangga lainnya. Kalau sekarang kita nyelam, saya yakin karung-karung berisi sampah masih banyak," ujar Harryadjie, gregetan.

Wajar karena pria kelahiran Jakarta, 22 September 1944 ini dikenal paling rajin kerja bakti di sungai. Akibatnya, Harryadjie alias 'Bambang Thelo' sering dianggap orang 'aneh' oleh teman-temannya maupun warga. "Kayak nggak ada kerjaan saja, kok bersih-bersih sungai."

Yang menarik, warga pinggir kali, yang sudah tinggal di sana turun-temurun, hampir tidak pernah membuang sampah ke dalam sungai. Bagi mereka, yang mayoritas nelayan tradisional, sungai adalah lahan hidup mereka, ibarat sawah atau ladang bagi petani.
Dan, itu dibuktikan dengan posisi rumah-rumah mereka yang senantiasa menghadap sungai, bukan membelakangi.

Ini juga menjadi hiburan tersendiri karena di sepanjang perjalanan, warga melambai-lambaikan tangannya. Kami pun membalas lambaian tangan warga pinggir kali yang tulus itu. "Kalau semua warga Sidoarjo guyup, rukun, rasanya hidup ini lebih indah," timpal Tarmduji, pelukis asal Buduran, yang pakai topi mirip Tino Sidin.

Lalu, dari mana datangnya sampah yang melayan dan terendam di dasar sungai ke Ketingan itu? Jawabnya, tentu dari hulu, ya, warga di kota. Warga Sidoarjo yang tidak merasa bahwa sungai itu bagian dari kehidupannya. Bukan rahasia lagi, sampah (tak hanya di Sidoarjo) masih dianggap sebagai bak sampah.

"Ibarat tubuh manusia, Ketingan ini dianggap sebagai anusnya. Makanya, di sini macam-macam kotoran bisa kita lihat," ungkap Harryadjie.

Tiba di Ketingan, kami tidak langsung mampir ke dermaga, tapi lebih dulu menikmati perairan Selat Madura. Erwin sengaja membawa rombongan kami ke kawasan bakau yang baru saja dihijaukan. Tampak sebagian kawasan itu sudah botak alias gundul.

Muhammad Ali Subhan bersama para aktivis lingkungan dari Jawa Timur sudah beberapa kali melakukan penghijauan di sana. Akankah reboisasi ini mampu mengembalikan kondisi hutan khas pantai itu ke kondisi semula? Tampaknya sulit. Apalagi, aksi pembalakan liar di situ cukup tinggi.

"Siapa yang mengawasi? Di sini warga datang dari mana saja, Pasuruan, Sidoarjo, Madura, Surabaya.... Setiap saat mereka bisa menebang hutan itu dengan enak," kata Bambang Harryadjie.

Erwin kemudian menambatkan perahu, istirahat 30 menit. Kesempatan ini dimanfaatkan Zainul dan Nanda, dua loper koran JAWA POS dan RADAR SURABAYA, untuk memancing. Asal tahu saja, pantai Ketingan sangat kaya ikan keting.

Setelah tujuh menit barulah Zainal mendapat satu ikan. Nanda, anak Bandung, sempat stres karena pancingnya tak kunjung kena. Baru 20-an menit, Nanda kena satu. Singkat cerita, dalam tempo 30 menit hanya ada dua ikan keting (kecil-kecil lagi) yang bisa didapat.

Kenapa bisa begitu? Ke mana gerangan ikan-ikan yang menurut legenda pernah menggotong jenazah Dewi Sekardadu itu? Sodikin, tokoh masyarakat Ketingan, tertawa kecil melihat kekecewaaan Zainul dan Nanda dari Sidoarjo.

"Yah, Ketingan sekarang memang sudah beda dengan dulu. Cari ikan sekarang susah, ikannya sudah berkurang jauh," jelas Sodikin kepada saya.

Menurut Sodikin, krisis ikan (tak hanya ikan keting) sebetulnya sudah mulai terasa dalam delapan tahun terakhir. Tiba-tiba saja binatang air payau (campuran laut dan tawar) itu merosot drastis. Karena itu, jangankan Zainul dan Nanda yang memang baru pertama kali memancing di Ketingan, nelayan Ketingan sendiri pun kesulitan mendapatkan ikan.

"Kalau kondisi begini terus, saya nggak tahu 10 tahun lagi apa masih ada ikan di sini. Apa warga masih bisa mengandalkan hidup dari hasil laut?" ujar Sodikin, yang juga petambak organik di Sidoarjo.

Lalu, diskusi pun terfokus pada sebab-musabab merosotnya komunitas ikan.

"Jelas saja habis karena ekosistemnya sudah rusak. Kalau ekosistemnya tidak kondusif lagi, ya, ikan-ikannya kelenger, mati," ujar Bambang Harryadjie, aktivis lingkungan yang paling banyak bicara.

Dan rusaknya ekosistem perairan Ketingan itu tidak lepas dari banyaknya sampah yang ada di sungai. Ali Subhan mengatakan, kalau tahun 1980-an hingga 1990-an sampah di sungai itu lebih banyak sampah domestik (rumah tangga), sekarang sudah terbalik. "Sampah industri mencapai 60 persen,” kata Ali Subhan, yang juga punya banyak tambak di kawasan Buduran.

Nah, sampah alias limbah industri ini hampir pasti menjadi biang kerok rusaknya ekosistem air di Sidoarjo, khususnya Ketingan dan sekitarnya. Limbah bahan beracun dan berbahaya patut diduga menjadi penyebab merosotnya komunitas ikan di sana. Fakta ini harus segera ditindaklanjuti oleh Pemkab Sidoarjo kalau tidak ingin melihat hilangnya nafkah warga nelayan.

"Terus terang, warga di sini memang resah. Lha, kok tiba-tiba banyak ikan mabuk, kelenger, terus mati," ujar Sodikin.

Celakanya lagi, di sepanjang sungai selalu ada rombongan warga yang kerjanya 'menyetrum' ikan. Teknik menangkap ikan seperti ini jelas ikut menambah parah kerusakan ekosistem ikan. "Sebab, anak-anak ikan, telurnya, serta binatang-binatang yang menjadi makanan ikan ikut rusak. Jadi, kasus kerusakan ekosistem di Ketingan ini macam-macam," kata Bambang Harryadjie.

0 comments:

Posting Komentar

Tukar Link Disini :

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Latest Templates


Powered By Blogger
Informasi Sidoarjo 2012. Diberdayakan oleh Blogger.