Tlocor identik dengan perkampungan terpencil di muara Sungai Porong.
Memang ada akses jalan raya ke Tlocor, tapi kondisinya sangat buruk.
Karena itu, hampir tak ada orang Sidoarjo, kecuali warga Tlocor dan
sekitarnya, yang nekat menempuh jalan darurat itu. Biasanya, hanya
pemancing-pemancing nekat yang berani ‘menantang’ jalanan Tlocor yang
berantakan itu.
“Bukan apa-apa. Kalau sampai ban bocor, kita terpaksa harus menuntut sepeda motor karena nggak ada jasa tambal ban di jalan. Mencari perkampungan warga pun sulit karena memang jauh-jauh,” kata Haryadi Subagyo, kemarin. Pelukis senior ini sejak 1990-an senang berkelana, memancing, dan membuat sketsa di tambak-tambak Tlocor.
Jika musim hujan, menurut Haryadi, jalan raya dari Kalisogo, eks lahan pembuangan akhir, hingga muara sungai di Tlocor praktis tak bisa dilalui mobil atau sepeda motor biasa, kecuali jeep atau trail. Di musim kemarau, jalanan itu membentuk cekungan yang dalam. Itu sebabnya, Tlocor dan kawasan Kedungpandan sering diidentikkan sebagai desa-desa terisolasi bersama Tambak Bromo, Kepetingan, ataupun Pucukan. Kampung-kampung ini hanya didiami para penjaga tambak maupun keturunannya.
“Itulah asyiknya Sidoarjo. Kabupaten yang bertetangga dengan Surabaya, tapi punya kampung-kampung antik dan terpencil seperti Pucukan atau Tlocor,” kata Haryadi seraya ngakak.
Kini, isolasi Tlocor, Kalisogo, Kedungpandan, bahkan Pulau Dem di depan Tlocor tinggal kisah masa lalu. Jalan raya dari arah timur Kali Porong hingga muara sungai sudah begitu mulus dan lebar. Bahkan, kemulusannya tak kalah dengan jalan tol. Boleh dikata, saat ini jalan sepanjang 10-12 kilometer ini paling mulus dan bagus kualitasnya di Kabupaten Sidoarjo.
“Itu semua tidak lepas dari tragedi semburan lumpur Lapindo. Kalau nggak ada Lapindo, ya, mungkin Tlocor nggak akan pernah jadi seperti sekarang,” ujar warga setempat yang sekarang membuka usaha warung ikan bakar.
Semburan lumpur panas sejak 29 Mei 2006 itu rupanya membawa berkat tersamar (blessing in disguise) bagi warga Tlocor dan sekitarnya. Sebab, pakar-pakar Lapindo Brantas, tim nasional penanggulangan lumpur, badan penanggulangan lumpur, pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten mulai merambah kawasan di sepanjang Sungai Porong untuk mencari lokasi pembuangan lumpur. Lumpur itu akhirnya disalurkan ke sungai, kemudian mengalir hingga muara di Kedungpandan dan Pulau Dem.
Dari situlah pemerintah pusat dan Lapindo sadar kalau ternyata di Sidoarjo masih ada dusun-dusun terpencil, tersisolasi, dengan rumah-rumah sederhana (dari gedhek) di sepanjang tangkis Kali Porong hingga muara. Dan, ketika BPLS dan Lapindo sudah tak punya cara jitu untuk menghentikan semburan, maka mau tidak mau jalan raya di samping tanggul sungai harus diperbaiki agar petugas dan pemerintah bisa dengan mudah memantau situasi pembuangan air lumpur dari Kali Porong ke muara.
“Dulu kan menteri-menteri sering datang untuk melihat pembuangan air lumpur. Makanya, beliau-beiau itu tahu sendiri kondisi jalan raya ke arah Tlocor,” ujar Ahmad, juga warga Kedungpandan.
Pemkab Sidoarjo pun rupanya tak ingin mendapat citra buruk gara-gara pejabat-pejabat teras di Jakarta menikmati jalan raya yang kondisinya sangat parah justru di kawasan yang masih tetangga metropolis Surabaya. Kira-kira begitu.
“Bukan apa-apa. Kalau sampai ban bocor, kita terpaksa harus menuntut sepeda motor karena nggak ada jasa tambal ban di jalan. Mencari perkampungan warga pun sulit karena memang jauh-jauh,” kata Haryadi Subagyo, kemarin. Pelukis senior ini sejak 1990-an senang berkelana, memancing, dan membuat sketsa di tambak-tambak Tlocor.
Jika musim hujan, menurut Haryadi, jalan raya dari Kalisogo, eks lahan pembuangan akhir, hingga muara sungai di Tlocor praktis tak bisa dilalui mobil atau sepeda motor biasa, kecuali jeep atau trail. Di musim kemarau, jalanan itu membentuk cekungan yang dalam. Itu sebabnya, Tlocor dan kawasan Kedungpandan sering diidentikkan sebagai desa-desa terisolasi bersama Tambak Bromo, Kepetingan, ataupun Pucukan. Kampung-kampung ini hanya didiami para penjaga tambak maupun keturunannya.
“Itulah asyiknya Sidoarjo. Kabupaten yang bertetangga dengan Surabaya, tapi punya kampung-kampung antik dan terpencil seperti Pucukan atau Tlocor,” kata Haryadi seraya ngakak.
Kini, isolasi Tlocor, Kalisogo, Kedungpandan, bahkan Pulau Dem di depan Tlocor tinggal kisah masa lalu. Jalan raya dari arah timur Kali Porong hingga muara sungai sudah begitu mulus dan lebar. Bahkan, kemulusannya tak kalah dengan jalan tol. Boleh dikata, saat ini jalan sepanjang 10-12 kilometer ini paling mulus dan bagus kualitasnya di Kabupaten Sidoarjo.
“Itu semua tidak lepas dari tragedi semburan lumpur Lapindo. Kalau nggak ada Lapindo, ya, mungkin Tlocor nggak akan pernah jadi seperti sekarang,” ujar warga setempat yang sekarang membuka usaha warung ikan bakar.
Semburan lumpur panas sejak 29 Mei 2006 itu rupanya membawa berkat tersamar (blessing in disguise) bagi warga Tlocor dan sekitarnya. Sebab, pakar-pakar Lapindo Brantas, tim nasional penanggulangan lumpur, badan penanggulangan lumpur, pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten mulai merambah kawasan di sepanjang Sungai Porong untuk mencari lokasi pembuangan lumpur. Lumpur itu akhirnya disalurkan ke sungai, kemudian mengalir hingga muara di Kedungpandan dan Pulau Dem.
Dari situlah pemerintah pusat dan Lapindo sadar kalau ternyata di Sidoarjo masih ada dusun-dusun terpencil, tersisolasi, dengan rumah-rumah sederhana (dari gedhek) di sepanjang tangkis Kali Porong hingga muara. Dan, ketika BPLS dan Lapindo sudah tak punya cara jitu untuk menghentikan semburan, maka mau tidak mau jalan raya di samping tanggul sungai harus diperbaiki agar petugas dan pemerintah bisa dengan mudah memantau situasi pembuangan air lumpur dari Kali Porong ke muara.
“Dulu kan menteri-menteri sering datang untuk melihat pembuangan air lumpur. Makanya, beliau-beiau itu tahu sendiri kondisi jalan raya ke arah Tlocor,” ujar Ahmad, juga warga Kedungpandan.
Pemkab Sidoarjo pun rupanya tak ingin mendapat citra buruk gara-gara pejabat-pejabat teras di Jakarta menikmati jalan raya yang kondisinya sangat parah justru di kawasan yang masih tetangga metropolis Surabaya. Kira-kira begitu.
0 comments:
Posting Komentar