Puluhan warga
korban lumpur mempertanyakan
surat yang mereka
layangkan ke gubernur dan
DPR RI yang sampai kini
belum ada jawaban. Warga
menginginkan pemerintah
pusat ikut campur tangan.
“Kami menuntut pemerintah
ikut campur tangan
atas kelanjutan sisa pembayaran
oleh PT Minarak
Lapindo Jaya (MLJ) yang
semakin tak jelas,” ujar Pitanto,
salah satu perwakilan
warga.
Warga mengharap akhir
2012 ini semua proses ganti
rugi korban lumpur sudah tuntas. Hal tersebut khususnya
ganti rugi pada korban yang
terletak di dalam peta area
terdampak (PAT). “Mana bisa
wong cicilan saja kini sering
terlambat dan kini terhenti,”
ungkap warga korban lumpur
lainnya, H Fattah, perwakilan
korban lumpur yang berasal
dari Desa Kedungbendo.
Pitanto kembali mengatakan
akhir tahun ini tinggal dua
bulan. Degan campur tangan
pemerintah pusat, diharapkan
sisa kelanjutan pembayaran
segera tuntas. Menurut Pitanto,
dari tanggungan MLJ sebesar
Rp 900 miliar yang sudah dibayar
hanya sekitar Rp 60 miliar.
Artinya kekurangannya lebih
dari Rp 800 miliar. Ketidakjelasan
sisa pembayaran ganti
rugi ini yang menjadi alasan
korban lumpur memblokade
tanggul hingga mengakibatkan
operasional BPLS terhenti.
“Kini kondisi tanggul penahan
lumpur terlihat mengkhawatirkan,
utamanya di titik 33 dan
34 desa Mindi,” ungkap Humas
BPLS Hengky Listria Adi.
Ia mengaku paham atas aksi
warga yang memblokade tanggul.
Namun pihaknya berharap
warga mengijznkan BPLS bekerja
agar kekuatan tanggul
bisa terjamin. “Apalagi sebentar
lagi musim hujan,” terusnya.
Sementara itu Ketua Pansus
Lumpur Emir Firdaus mendesak
pemerintah memangil MLJ agar
melakukan komitmen pada akhir
Desember tahun ini. Bila MLJ
tidak menyanggupi, Pansus Lumpur
berharap agar pemerintah
mengambil alih seperti mereka
mengambil alih persoalan pembayaran
ganti rugi kawasan yang
ada di luar peta terdampak. “Kita
berharap pemerintah pusat turun
tangan karena MLJ sudah melampaui
janji,” kata Emir.
Sejatinya kemarin dewan dan
para korban lumpur akan mengirimkan
surat ke DPR sebagai
tindak lanjut penyelesaian masalah.
Namun karena DPR RI memasuki
masa reses, diharapkan
setelah tanggal 18 November
mendatang sudah bisa audiensi.
Menurut Pansus Lumpur, lebih
baik perpres 14 tahun 2007
tentang kewajiban Lapindo
membeli aset di area PAT direvisi.
Masih menurut Emir, presiden
harus mengoreksi perpresnya
atau mengambil alih persoalan
karena PT Minarak sudah
dianggap tidak mampu.
korban lumpur mempertanyakan
surat yang mereka
layangkan ke gubernur dan
DPR RI yang sampai kini
belum ada jawaban. Warga
menginginkan pemerintah
pusat ikut campur tangan.
“Kami menuntut pemerintah
ikut campur tangan
atas kelanjutan sisa pembayaran
oleh PT Minarak
Lapindo Jaya (MLJ) yang
semakin tak jelas,” ujar Pitanto,
salah satu perwakilan
warga.
Warga mengharap akhir
2012 ini semua proses ganti
rugi korban lumpur sudah tuntas. Hal tersebut khususnya
ganti rugi pada korban yang
terletak di dalam peta area
terdampak (PAT). “Mana bisa
wong cicilan saja kini sering
terlambat dan kini terhenti,”
ungkap warga korban lumpur
lainnya, H Fattah, perwakilan
korban lumpur yang berasal
dari Desa Kedungbendo.
Pitanto kembali mengatakan
akhir tahun ini tinggal dua
bulan. Degan campur tangan
pemerintah pusat, diharapkan
sisa kelanjutan pembayaran
segera tuntas. Menurut Pitanto,
dari tanggungan MLJ sebesar
Rp 900 miliar yang sudah dibayar
hanya sekitar Rp 60 miliar.
Artinya kekurangannya lebih
dari Rp 800 miliar. Ketidakjelasan
sisa pembayaran ganti
rugi ini yang menjadi alasan
korban lumpur memblokade
tanggul hingga mengakibatkan
operasional BPLS terhenti.
“Kini kondisi tanggul penahan
lumpur terlihat mengkhawatirkan,
utamanya di titik 33 dan
34 desa Mindi,” ungkap Humas
BPLS Hengky Listria Adi.
Ia mengaku paham atas aksi
warga yang memblokade tanggul.
Namun pihaknya berharap
warga mengijznkan BPLS bekerja
agar kekuatan tanggul
bisa terjamin. “Apalagi sebentar
lagi musim hujan,” terusnya.
Sementara itu Ketua Pansus
Lumpur Emir Firdaus mendesak
pemerintah memangil MLJ agar
melakukan komitmen pada akhir
Desember tahun ini. Bila MLJ
tidak menyanggupi, Pansus Lumpur
berharap agar pemerintah
mengambil alih seperti mereka
mengambil alih persoalan pembayaran
ganti rugi kawasan yang
ada di luar peta terdampak. “Kita
berharap pemerintah pusat turun
tangan karena MLJ sudah melampaui
janji,” kata Emir.
Sejatinya kemarin dewan dan
para korban lumpur akan mengirimkan
surat ke DPR sebagai
tindak lanjut penyelesaian masalah.
Namun karena DPR RI memasuki
masa reses, diharapkan
setelah tanggal 18 November
mendatang sudah bisa audiensi.
Menurut Pansus Lumpur, lebih
baik perpres 14 tahun 2007
tentang kewajiban Lapindo
membeli aset di area PAT direvisi.
Masih menurut Emir, presiden
harus mengoreksi perpresnya
atau mengambil alih persoalan
karena PT Minarak sudah
dianggap tidak mampu.
0 comments:
Posting Komentar