Informasi Sidoarjo on http://www.infosda.com

Kamis, 20 Desember 2012

Alarm Pemberantasan Korupsi di Jatim

KABAR buruk menghampiri agenda pemberantasan Jawa Timur. Kita sepakat bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Karena itu perlu dihadapi dan ditangani dengan cara-cara yang luar biasa. Regulasi tentang korupsi (baca: UU korupsi) telah memberikan materi dan spirit pemberantasan korupsi yang tinggi, namun regulasi yang cukup memadai tersebut tidak diikuti dengan spirit dan progresivitas hukum dari pada penegaknya. Beberapa kali kasus korupsi, khususnya di PN Tipikor Kota Surabaya, tidak hanya sekedar divonis super ringan, tapi juga divonis bebas.

Di tengah gencar-gancarnya kita bersemangat memberantas korupsi justru para penegak hukum kita di daerah dengan mudahnya mengobral vonis ringan dan bahkan vonis bebas terhadap para terdakwa korupsi. Ini yang terjadi di Jawa Timur. Kasus yang terbaru adalah bebasnya tersangka korupsi yang juga Direktur PDAM Kabupaten Sidoarjo, Djajadi, yang merugikan Negara sebesar Rp 3 milyar. Pada tingkat pertama di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya, Djajadi divonis 1 tahun penjara, namun ditingkat kasasi Pengadilan Tinggi divonis bebas.

Judicial Corruption

Bebasnya tersangka korupsi di Pengadilan Tipikor Surabaya dan Jawa Timur, bukan kali ini saja. Sebelumnya Pengadilan Tipikor juga membebaskan beberapa tersangka korupsi, beberapa diantaranya adalah kasus kasda Kabupaten Sidoarjo puluhan milyar rupiah yang melibatkan mantan Bupati Win hendrarso, dkk, Bupati Lumajang Syahrazah Masdar, dan Bupati jember M. Djalal. Dan masih ada beberapa terdakwa korupsi di daerah yang divonis bebas. Meskinpun tidak divonis bebas, para terdakwa divonis super ringan; antara 1-2 tahun penjara.

Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Wacth (ICW), per 1 Agustus 2012, sedikitnya 71 terdakwa korupsi telah divonis bebas oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Vonis bebas tersebut terbesar terutama di Surabaya sebanyak 26 terdakwa, menyusul Samarinda 15 terdakwa, kemudian Semarang dan Padang masing-masing 7 terdakwa. Dan Bebasnya terdakwa korupsi Djajadi menjadi preseden buruk dan sekaligus alarm bagi pemberantasan korupsi di Jatim.

Munculnya putusan lembaga pengadilan yang tidak adil dan melukai rasa keadilan masyarakat dalam penanganan kasus korupsi disebabkan oleh adanya para pihak yang berusaha mencari celah-celah hukum dan menghalalkan berbagai cara untuk mempengaruhi perkara di pengadilan; sehingga pratek suap, sogok, dan “main mata” bukan lagi sesuatu yang rahasia di dunia peradilan kita. Ada potensi terjadinya judicial corruption, yakni kebanyakan terdakwa berhasil membeli para penegak hukum (terutama hakim) sehingga putusannya sangat menguntungkan terdakwa (Maraks dan ICW, 2004). Praktik mafia hukum dan peradilan ini seperti ketut; baunya terasa kemana-mana, namun sulit dibuktikan.

Sedangkan menurut pakar Hukum Pidana UI, Harkristuti Harkrisnowo, kondisi semacam itu disebabkan; Pertama, sang koruptor sangat canggih dan mahfum dengan legal jargon dan trick di Indonesia sehingga mereka mampu menyelabui perilaku koruptifnya dari jeratan hukum, Kedua, para jaksa selalu penyidik dan penuntut umum kurang bersemangat, serius, dan canggih dalam melalukan investigasi dan penyusunan surat dakwaan yang layak untuk diajukan ke pangadilan. Selain itu, para hakim tipikor juga tidak memiliki semangat anti korupsi, sehingga mengakibatkan terdakwa korupsi divonis super ringan, bahkan bebas.

Vonis super ringan atau bebasnya tersangka korupsi milyaran rupiah tersebut, tidak saja melukai rasa keadilan masyarakat, tapi juga melawan arus dan semangat pemberantasan korupsi. Inilah gambaran jika kasus korupsi itu menimpa para pejabat, hukum begitu tumpul menjeratnya. Para pejabat berpotensi mendapat vonis bebas atau super ringan. Sementara jika kasus korupsi atau pidana lain menimpa orang kecil, hukum begitu kerasnya. Penegakkan hukum bagaikan sebila pedang; tajam ke bawah, tumpul ke atas.

Sebagian besar kasus korupsi yang divonis bebas, termasuk kasus Djajadi, menurut para hakim Tipikor karena dinilai tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 Junto UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Secara normative yang dangkal, tidak terbukti bersalah melawan hukum, karena memang kasus semacam ini sudah “cacat” sejak dalam rahimnya, yakni sejak dalam penyidikan, yang memang sudah “diskenario” untuk vonis bebas atas vonis ringan. Ditambah lagi, para pemutus perkara, cenderung berhukum hanya dengan pasal (istik) yang sangat rigid dan eksklusif, memimjam Sosiolog Hukum, (alm) Satjipto (2008), tanpa mengindahkan nurani dan akal sehat.

Surpervisi KPK

Melihat seringnya Pengadilan Tipikor Surabaya dan hakim Tipikor Jatim membebaskan para terdakwa kasus korupsi, mendesak perlu adanya adanya supervisi KPK terhadap lembaga penegak hukum di Jatim yang sedang menganani kasus-kasus korupsi besar. Hal ini perlu dilakukan untuk meminimalisiir melemahnya pemberantasan korupsi di daerah, terutama bebas dan ringannya hukuman para terdakwa korupsi.

Salah satu tugas KPK, menurut ketentuan Pasal 6 huruf b Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, adalah melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan korupsi. Dalam pasal itu, disebutkan bahwa salah satu tugas dan wewenang KPK adalah melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perudang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan tugas supervisi tersebut KPK mempunyai wewenang yang diatur pasal 8, yaitu, “KPK dapat melakukan pengawasan, penelitian atau penelahaan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak korupsi, dan instansi yang melaksanakan pelayanan publik“. Dalam melaksanakan wewenang tersebut, KPK berwewenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidanan korupsi yang sedang dilakukan oleh pihak kepolisian atau kejaksanan.

Dalam konteks yang lebih luas, perlu adanya kontrol judicial yang lebih ketat, baik dari internal maupun eksternal lembaga peradilan. Transparansi dan akuntabilitas lembaga peradilan harus menjadi nafas dan prinsip dalam praktik penegakan hukum yang lebih berkualitas dan berkeadilan. Ini adalah salah satu cara untuk menjawab krisis lembaga peradilan yang sudah cukup akut saat ini, sekaligus mengembalikan public trust terhadap lembaga peradilan.

0 comments:

Posting Komentar

Tukar Link Disini :

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Latest Templates


Powered By Blogger
Informasi Sidoarjo 2012. Diberdayakan oleh Blogger.