Kemajuan teknologi digital
membuat masyarakat semakin jauh dengan buku fisik. Dibukanya
Perpustakaan Bait Kata, yang bernuansa rumahan, diharapkan menjadi
ajang wisata edukasi yang asyik di Kota Delta. Satria Nugraha
SUASANA perpustakaan umum, universitas, maupun sekolah yang cenderung kaku terbantahkan dengan kehadiran Bait Kata.
“Tidak seperti saat di perpustakaan
sekolah yang dilarang berisik. Di sini saya bersama teman- teman bebas
berisik,” ujar Astianala Ulima Carissa, siswi kelas 7 SMPN 1 Sidoarjo,
kemarin. Bukan hanya bebas berisik, pengunjung perpustakaan swasta
satusatunya di Sidoarjo ini bebas”‘bergaya’ saat membaca buku.
Pengunjung bisa membaca di kursi ruang
tamu, bisa duduk lesehan, bahkan sambil tiduran. Di Bait Kata, ruang
bacanya sendiri tidak disediakan banyak kursi layaknya perpustakaan
umum. Fungsi kursi digantikan karpet dan meja panjang di sisi tengah.
Di bagian samping disediakan dua kasur
tipis, lengkap dengan bantal untuk membaca sambil rebahan. Asti bersama
beberapa teman sekolahnya rutin datang pada hari Jumat sepulang sekolah.
Bukan hanya untuk membaca novel kesukaannya, tetapi juga mengerjakan
tugas sekolah.
“Di sini situasinya asyik banget,”
kata Kartika Mega Widyawati, teman satu kelas Asti. Tak jarang mereka
datang siang sehabis sekolah dan baru pulang malam harinya. Para
orangtua pun sering kali mengantar dan menjemput anak-anak mereka.
Perpustakaan Bait Kata beralamat di Perumahan Larangan Mega Asri B– 10
dibuka pada 29 Desember 2011 oleh Kepala Perpustakaan Sidoarjo.
“Awalnya saya tidak percaya diri, apakah
dengan koleksi buku saya yang terbatas pantas disebut perpustakaan,”
kata Iffa Suraiya, sang pemilik. Bait Kata buka dari Selasa sampai
Minggu mulai pukul 10.00-–20.00 dengan koleksi lebih dari 3.000 buku
fiksi dan nonfiksi serta majalah.
Anggota hanya perlu membayar Rp 25 ribu
yang berlaku seumur hidup. Iffa mengaku mendirikan perpustakaan dari
ketaksengajaan. Keluarganya memang doyan baca buku. Dulu, buku
koleksinya sering dipinjam teman-temannya dan, celakanya, sering tidak
kembali.
Beberapa buku yang hilang di antaranya
buku-buku langka seperti Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer
serta–Seribu Kunang-Kunang di Manhattan karya Umar Kayam. Berangkat dari
niat menyelamatkan buku koleksinya, Iffa mendirikan perpustakaan yang
homey, di mana pengunjungnya berasa seperti di rumah sendiri.
“Dahulu perpustakaan merupakan tempat
untuk mendapatkan informasi yang tidak menarik sebagai tempat nongkrong.
Kehadiran Bait Kata dengan suasana layaknya rumah tinggal diharapkan
menjadi tempat baca dan wisata edukasi yang menyenangkan,” tutur lulusan
Komunikasi Universitas Diponegoro Semarang ini.
aat ini anggota Bait Kata mencapai 329
orang, rata-rata pelajar sekolah dasar sampai SMA. Tak jarang
persahabatan tercipta saat mereka mengunjungi perpustakaan ini. Bahkan,
ada yang akan berkolaborasi untuk membuat novel.
“Mereka adalah beberapa siswi SMAN 1,
SMAN 2, dan SMAN 4 yang rutin datang ke tempat kami,” sambung Iffa.
Saking seringnya bertemu di tempat yang sama, mereka bersahabat dan
membentuk sebuah grup bernama Dengarkan Suara Kami.
Mereka sering kali curhat tentang apa
saja. Mulai soal keputihan, pacar, keluarga, serta sekolah yang
didampingi seorang psikolog. Mulai Februari lalu, Bait Kata melakukan
roadshow ke beberapa sekolah dengan menggandeng penulis Kirana Kejora
untuk membangkitkan semangat menulis para pelajar.
“Dalam waktu dekat Bait Kata juga akan
menggelar layar tancap ke sekolahsekolah dengan memutar film karya
sineas Indonesia yang berbasis novel,” imbuh Iffa.”
0 comments:
Posting Komentar