Meski tinggal di Kota Surabaya, Herry
Lentho Prasetyo sering mengikuti event seni budaya di Sidoarjo. Belum
lama ini dia mendampingi grup wayang topeng asal Pakisaji, Malang, yang
tampil di halaman Museum Mpu Tantular Buduran.
“TOPENG itu kesenian yang diwariskan
Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Makanya, di berbagai daerah ada
tradisi topeng,” kata Herry Lentho kepada Radar Sidoarjo kemarin.
Seniman tari dan penggerak sejumlah
festival seni di surabaya ini mengaku sangat mengapresiasi pengelola
museum yang memberikan kesempatan kepada para seniman tradisi untuk
unjuk kebolehan. Apalagi, puluhan pelajar dari berbagai kawasan Sidoarjo
juga diundang menyaksikan acara ini.
Hanya saja, menurut dia, pihak museum
perlu mengemas pertunjukan-pertunjukan itu dengan lebih baik lagi.
“Kalau seperti sekarang, ya, roh keseniannya nggak muncul. Penonton
nggak bisa menikmati pertunjukan siang-siang begini,” katanya.
Selain itu, Herry meminta agar pihak
museum memberi kesempatan kepada para pelajar melakukan dialog atau
diskusi interaktif selepas pergelaran.
Dengan begitu, para seniman bisa
menjelaskan sejarah, filosofi, proses kreatif, hingga pengalaman mereka
selama menggeluti kesenian itu. “Lha, saya lihat di Sidoarjo ini
kayaknya seniman kurang dihargai.
Setelah pentas, seniman-seniman nggak
diajak bersalaman atau bicara, tapi ditinggal begitu saja. Ini membuat
misi untuk apresiasi seni budaya tidak tercapai,” katanya.
Herry Lentho sebetulnya bukan sosok yang
asing di kalangan seniman dan pekerja budaya di Kota Delta. Semasa
bupati Sidoarjo dijabat Win Hendrarso, Herry pernah dimintai masukan
seputar konsep pengembangan Sidoarjo sebagai kota festival.
Cukup banyak masukan yang disampaikannya
kepada Win. “Tapi untuk benar- benar menjadi kota festival perlu
dukungan yang sangat kuat dan konsisten dari pemerintah. Konsepnya juga
harus matang,” katanya.
Sayang, keinginan kepala daerah untuk
menjadikan Sidoarjo sebagai kota festival alam kenyataannya kurang
jalan di lapangan. Apalagi setelah muncul semburan lumpur Lapindo pada
29 Mei 2006 lalu.
Praktis, energi pemkab maupun pekerja
seni budaya tersedot ke urusan lumpur, ganti rugi, dan sebagainya. Meski
begitu, Herry sempat mengajukan konsep Festival Candi Pari untuk
meramaikan kawasan cagar budaya di Desa Candi Pari, Kecamatan Porong.
Dia membuat tarian khusus bernama Candi
Pari. Sebuah tarian yang menggambarkan betapa Sidoarjo di masa lalu
pernah menjadi lumbung padi dari Kerajaan Majapahit.
“Tarian ini bisa dimainkan
sewaktu-waktu,” katanya. Dibandingkan beberapa tahun lalu, Herry menilai
aktivitas seni budaya di Kabupaten Sidoarjo cenderung menurun.
Masih untung ada Museum Mpu Tantular
yang punya agenda tetap menampilkan aneka kesenian tradisional dari
berbagai daerah di Jawa Timur. “Sidoarjo cukup beruntung karena
ketempatan Museum Mpu Tantular,” katanya.
0 comments:
Posting Komentar