Dia tidak menakutkan, apalagi merugikan. Makanya, tidak pernah sampai ramai didemo warga. Lapindo-lapindo yang ini justru diburu karena bikin ketagihan.
Nama Lapindo terbukti-teruji terjamin 
bikin pembelipenasaran. Yang memanfaatkannya untuk mendongkrak penjualan
 pun menyebar di manamana. Misalnya Rofiq, penjual pentol dan es cao 
keliling.
Sejak 2006, tidak lama setelah semburan 
pertama lumpur terjadi, dia langsung pakai Lapindo sebagai nama 
rombong.Pelanggan setianya ya warga sekitar Desa Sumorame, Candi.
Dia tiap hari muter dari sebuah Madrasah
 Tsanawiyah, tengah kampung, lalu mangkal di halaman pabrik sepatu di 
Jalan Raya Sumorame, sampai siang. Laki-laki 40 tahun ini merasa sangat 
berhak pakai nama Lapindo.
Dia meng- klaim sebagai korban lumpur 
dari Desa Kedungbendo RT 04 RW II. Saat rumahnya ludes diterjang lumpur 
panas, Rofiq sekeluarga sempat tiga bulan mengungsi di Pasar Baru 
Porong. “Lalu saya jualan pentol keliling. Biar gampang diingat orang, 
saya pakai saja nama Lapindo.
Tunggakan Lapindo pada saya masih 
sekitar Rp 70 juta,” terang Rofiq. Di perumahan Mutiara Citra Asri dan 
Pasar Ngaban, Tanggulangin, ada juga kuliner bermerek Lapindo. Menunya 
bubur kacang hijau, yang dijual keliling oleh Edi.
Berbeda dengan Rofiq, Edi sama sekali 
tidak punya ikatan emosial apa-apa dengan Lapindo. Dia bukan warga 
Porong, apalagi korban lumpur. Rumahnya jauh di Lumajang sana.  
“Semburan lumpur panas itu kan blukutuk seperti bubur jualan saya,” 
alasan Edi. 












0 comments:
Posting Komentar