Semburan lumpur Lapindo membuat ribuan warga Porong kehilangan rumah,
lahan pertanian hingga pekerjan. Pasca ditenggelamkan lumpur, mereka pun
mencoba berbagai cara untuk dapat mempertahankan hidup. Sebab, ganti
rugi yang diberikan Minarak Lapindo Jaya hingga saat ini belum
sepenuhnya tuntas.
Salah satu warga yang menjadi korban lumpur yakni Marsudiono (40) warga korban lumpur dari Desa Siring RT 11 RW 2, Porong. Akibat kehilangan pekerjaannya, dia kini mencari nafkah menjadi tukang foto keliling di 'kolam wisata lumpur Lapindo'.
"Dulu saya tukang ojek, sekarang bertambah jadi tukang ojek dan foto keliling langsung jadi," ujar Marsudiono, saat berbincang dengan detikSurabaya.com, Minggu (3/6/2012).
Selain menjadi tukang ojek, Marsudiono mengaku jika sebelum tempat tinggalnya ditenggelamkan lumpur, mempunyai toko peracangan dan mendapatkan penghasilan dari bercocok tanam di areal persawahannya. Pasca semburan lumpur Lapindo yang menenggelamkan tempat tinggalnya, benar-benar membuat Marsudiono berfikir keras mencari pekerjaan dan memenuhi nafkah istri dan kedua anaknya yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah dasar (SD), karena 'lahan pekerjaannya itu sudah ditenggelamkan lumpur'.
"Pasca semburan lumpur, saya bekerja sebagai tukang ojek keliling di atas tanggul, untuk wisatawan yang ingin melihat lumpur," tuturnya.
Pendapatan dari tukang ojek dinilai tidak mencukupi, apalagi banyak warga korban lainnya yang juga beralih menjadi tukang ojek. Dengan kondisi seperti itu, Marsudiono berfikir kembali untuk mendapatkan penghasilan, hingga menjadi tukang foto keliling langsung jadi.
Bapak dua anak ini menceritakan, dirinya kepincut menjadi tukang keliling berawal dari sering diminta pengunjung untuk memotret. Dari kebiasan sering diminta tolong pengunjung, Marsudiono berfikir bahwa dirinya bisa memotret dan menjadikan kesempatan itu menjadi peluang menambah penghasilan.
Sekitar tahun 2008, Marsudiono pergi ke toko elektronik di Kota Sidoarjo dan membeli kamera Coolpix dan sebuah printer. Ia juga bertanya ke penjaga toko itu, tentang tata cara pemakaian foto serta cara menghasilkan karya foto dari printer.
Kemudian, setiap hari Marsudiono berangkat dari tempat tinggal kontraknya di kawasa Krembung yang jaraknya sekitar 5 kilometer dengan mengendari sepeda motor dan membawa peralatan-kerja barunya seperti printer dan kamera Nikon-nya.
"Awalnya saya mencoba memotret teman-teman ojek lainnya, tapi hasil selalu nggak fokus. Saya terus belajar dan belajar supaya dapat menghasilkan gambar yang bagus," tuturnya.
Kesempatan menjadi tukang foto keliling akhirnya jadi juga. Ketika sedang asyik memotret rekan ojeknya, tiba-tiba ada pengunjung yang meminta dipotret dan langsung jadi. Tak kurang dari 2 menit, foto wisatawan itu sudah jadi dan Marsudiono mendapatkan imbalan Rp 15 ribu atau lebih besar dibandingkan dengan ojek yang penghasilannya sekali menarik mengelilingi tanggung ongkosnya Rp 10 ribu.
Ia pun tertarik mengembangkan-lahan pekerjaan barunya itu. Dirinya pun mencoba menarkan ke pengunjung, tapi apa yang diinginkan tak sesuai harapan. "Ternyata usah juga mas mencari pengunjung yang mau difoto. Banyak mereka yang tidak percaya kalau difoto 2 menit langsung jadi," tuturnya.
Marsudiono pun mencari akal untuk mempromosikan pekerjaannya sebagai tukang foto keliling langsung jadi. Dengan berbekal papan yang diikatkan tali dan dikalungkan di lehernya, tulisan foto langsung jadi itu terpampang jelas di papan yang menempel di dadanya sambil berkeling dengan sepeda motor Honda Supra miliknya yang diatasnya terdapat mesin printer dan saat proses pencetakan, menggunakan aki dari sepeda motornya.
"Sekarang ya lumayan. Kalau sepi biasanya sehari dapat Rp 40 ribu, kalau rame bisa sampai di atas Rp 100 ribu. Biasanya kalau rame pas waktu Sabtu, Minggu atau liburan. Kalau sepi nggak ada yang mau difoto ya, saya ngojek. Yang penting bisa menafkahi anak dan istri," jelasnya.
Salah satu warga yang menjadi korban lumpur yakni Marsudiono (40) warga korban lumpur dari Desa Siring RT 11 RW 2, Porong. Akibat kehilangan pekerjaannya, dia kini mencari nafkah menjadi tukang foto keliling di 'kolam wisata lumpur Lapindo'.
"Dulu saya tukang ojek, sekarang bertambah jadi tukang ojek dan foto keliling langsung jadi," ujar Marsudiono, saat berbincang dengan detikSurabaya.com, Minggu (3/6/2012).
Selain menjadi tukang ojek, Marsudiono mengaku jika sebelum tempat tinggalnya ditenggelamkan lumpur, mempunyai toko peracangan dan mendapatkan penghasilan dari bercocok tanam di areal persawahannya. Pasca semburan lumpur Lapindo yang menenggelamkan tempat tinggalnya, benar-benar membuat Marsudiono berfikir keras mencari pekerjaan dan memenuhi nafkah istri dan kedua anaknya yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah dasar (SD), karena 'lahan pekerjaannya itu sudah ditenggelamkan lumpur'.
"Pasca semburan lumpur, saya bekerja sebagai tukang ojek keliling di atas tanggul, untuk wisatawan yang ingin melihat lumpur," tuturnya.
Pendapatan dari tukang ojek dinilai tidak mencukupi, apalagi banyak warga korban lainnya yang juga beralih menjadi tukang ojek. Dengan kondisi seperti itu, Marsudiono berfikir kembali untuk mendapatkan penghasilan, hingga menjadi tukang foto keliling langsung jadi.
Bapak dua anak ini menceritakan, dirinya kepincut menjadi tukang keliling berawal dari sering diminta pengunjung untuk memotret. Dari kebiasan sering diminta tolong pengunjung, Marsudiono berfikir bahwa dirinya bisa memotret dan menjadikan kesempatan itu menjadi peluang menambah penghasilan.
Sekitar tahun 2008, Marsudiono pergi ke toko elektronik di Kota Sidoarjo dan membeli kamera Coolpix dan sebuah printer. Ia juga bertanya ke penjaga toko itu, tentang tata cara pemakaian foto serta cara menghasilkan karya foto dari printer.
Kemudian, setiap hari Marsudiono berangkat dari tempat tinggal kontraknya di kawasa Krembung yang jaraknya sekitar 5 kilometer dengan mengendari sepeda motor dan membawa peralatan-kerja barunya seperti printer dan kamera Nikon-nya.
"Awalnya saya mencoba memotret teman-teman ojek lainnya, tapi hasil selalu nggak fokus. Saya terus belajar dan belajar supaya dapat menghasilkan gambar yang bagus," tuturnya.
Kesempatan menjadi tukang foto keliling akhirnya jadi juga. Ketika sedang asyik memotret rekan ojeknya, tiba-tiba ada pengunjung yang meminta dipotret dan langsung jadi. Tak kurang dari 2 menit, foto wisatawan itu sudah jadi dan Marsudiono mendapatkan imbalan Rp 15 ribu atau lebih besar dibandingkan dengan ojek yang penghasilannya sekali menarik mengelilingi tanggung ongkosnya Rp 10 ribu.
Ia pun tertarik mengembangkan-lahan pekerjaan barunya itu. Dirinya pun mencoba menarkan ke pengunjung, tapi apa yang diinginkan tak sesuai harapan. "Ternyata usah juga mas mencari pengunjung yang mau difoto. Banyak mereka yang tidak percaya kalau difoto 2 menit langsung jadi," tuturnya.
Marsudiono pun mencari akal untuk mempromosikan pekerjaannya sebagai tukang foto keliling langsung jadi. Dengan berbekal papan yang diikatkan tali dan dikalungkan di lehernya, tulisan foto langsung jadi itu terpampang jelas di papan yang menempel di dadanya sambil berkeling dengan sepeda motor Honda Supra miliknya yang diatasnya terdapat mesin printer dan saat proses pencetakan, menggunakan aki dari sepeda motornya.
"Sekarang ya lumayan. Kalau sepi biasanya sehari dapat Rp 40 ribu, kalau rame bisa sampai di atas Rp 100 ribu. Biasanya kalau rame pas waktu Sabtu, Minggu atau liburan. Kalau sepi nggak ada yang mau difoto ya, saya ngojek. Yang penting bisa menafkahi anak dan istri," jelasnya.
0 comments:
Posting Komentar